Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Barang Hasil Pertanian

PPN PertanianPendahuluan
Indonesia adalah negara agraris yang kaya akan hasil pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Oleh karena itu sebagian besar masyarakat Indonesia melakukan kegiatan usaha di bidang pertanian maupun yang berkaitan dengan pertanian. Hal itu terbukti dengan tercapainya swasembada pangan pada tahun 1984 melalui gerakan “Revolusi Hijau” yaitu gerakan untuk meningkatkan produksi pangan melalui usaha pengembangan teknologi pertanian. Sadar maupun tidak sadar, pemerintah memiliki peranan penting dibalik keberhasilan swasembada pangan tersebut. Pemerintah ikut menyukseskan pertanian Indonesia dengan membuat kebijakan-kebijakan yang mendukung pertanian dengan menerbitkan peraturan. Salah satu kebijakan yang dibuat pemerintah yaitu peraturan pajak mengenai barang pertanian. Peraturan perpajakan merupakan faktor penentu yang penting bagi masa depan pertanian di Indonesia.Barang Hasil Pertanian yang Dibebaskan PPN
Pada prinsipnya didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UU PPN) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenal dua jenis fasilitas di bidang PPN yang memiliki perlakuan yang berbeda, yaitu :

  1. Pajak terutang tidak dipungut, dan
  2. Pembebasan dari pengenaan pajak.
Hal terpenting yang harus dipahami berkenaan dengan fasilitas PPN tersebut adalah bahwa suatu transaksi yang sebenarnya merupakan objek PPN atau telah memenuhi syarat untuk dikenakan PPN, karena sebab tertentu dibebaskan dari pengenaan PPN atau PPN nya tidak dipungut dengan Peraturan Pemerintah. Oleh karena itu, harus dibedakan dengan konsep tidak dikenakan PPN, yaitu suatu transaksi yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk dikenakan PPN, misalnya barang yang diserahkan bukan BKP.
Tujuan dan maksud diberikannya fasilitas ini adalah untuk mendorong berhasilnya sektor-sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta memperlancar pembangunan nasional.
Dasar hukum pembebasan PPN adalah Pasal 16B Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009. Pasal 16B ini memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk memberikan fasilitas berupa PPN tidak dipungut atau PPN dibebaskan untuk :

  1. Kegiatan di kawasan  tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
  2. Penyerahan Barang Kena  Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
  3. Impor Barang  Kena Pajak tertentu;
  4. Pemanfaatan  Barang Kena Pajak tidak berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam  Daerah Pabean;
  5. Pemanfaatan  Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam  Daerah Pabean.

Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 mengatur  tentang impor dan atau penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan nilai. Berdasarkan peraturan tersebut, barang pertanian termasuk dalam barang yang bersifat strategis. Barang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang:

  • Pertanian, perkebunan, dan kehutanan;
  • Peternakan, perburuan atau penangkapan, maupun penangkaran; atau
  • Perikanan baik dari penangkapan atau budidaya,
yang dipetik langsung, diambil langsung atau disadap langsung dari sumbernya termasuk, yang diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia simpan atau mempermudah proses lebih lanjut, sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah nomor 31 Tahun 2007.Barang Hasil Pertanian yang Dikenakan PPN
Pada tanggal 25 Februari 2014 telah diterbitkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 70P/HUM/2013. Putusan tersebut mengabulkan permohonan uji materiil dari pemohon yaitu Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN). Isi putusan tersebut memerintahkan kepada Presiden Republik Indonesia untuk mencabut Pasal 1 ayat (1) huruf c, Pasal 1 ayat (2) huruf a, Pasal 2 ayat (1) huruf f, dan Pasal 2 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Dampak dari putusan tersebut yaitu pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
Pasal 8 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011, mengatur bahwa dalam hal 90 hari setelah putusan Mahkamah Agung tersebut dikirim kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan tersebut, ternyata Pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum. Berdasarkan data pada Sistem Informasi Administrasi Perkara Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Agung Nomor 70P/HUM/2013 telah dikirim pada tanggal tanggal 23 April 2014. Dengan demikian apabila Pemerintah sampai dengan tanggal 21 Juli 2014 belum mencabut Pasal 1 ayat (1) huruf c, Pasal 1 ayat (2) huruf a, Pasal 2 ayat (1) huruf f, dan Pasal 2 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, maka sejak tanggal 22 Juli 2014 ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.Implikasi Perpajakan Putusan Mahkamah Agung Nomor 70P/HUM/2013
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung tersebut, maka implikasi perpajakannya adalah sebagai berikut:

  1. Barang hasil pertanian berupa buah-buahan dan sayur-sayuran sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 termasuk barang yang tidak dikenakan PPN (Bukan Barang Kena Pajak) sesuai Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang PPN sehingga atas penyerahan, impor, maupun ekspornya tidak dikenai PPN.
  2. Barang hasil pertanian lain yang tidak ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, yaitu beras, gabah, jagung, sagu dan kedelai adalah barang yang tidak dikenakan PPN (Bukan Barang Kena Pajak) sesuai Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang PPN sehingga atas penyerahan, impor, maupun ekspornya tidak dikenai PPN.
  3. Barang hasil pertanian yang merupakan hasil perkebunan, tanaman hias dan obat, tanaman pangan, dan hasil hutan sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 yang semula dibebaskan dari pengenaan PPN berubah menjadi dikenakan PPN sehingga atas penyerahan dan impornya dikenai PPN dengan tarif 10%, sedangkan atas ekspornya dikenai PPN dengan tarif 0% (perincian jenis barang terlampir).
  4. Pengusaha (orang pribadi maupun badan) yang melakukan penyerahan barang hasil pertanian tersebut wajib memungut PPN dan untuk itu wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, kecuali pengusaha yang termasuk pengusaha kecil dengan omzet sampai dengan Rp 4,8 milyar per tahun sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai.

Contoh Kasus

  1. Pak Arifin adalah seorang pedagang pengumpul. Usahanya adalah berdagang buah-buahan dan sayur-sayuran yang dibeli dari petani di daerah Sulawesi,  kemudian dijual ke industri pertanian di Samarinda. Usahanya cukup berkembang, sampai pada bulan Mei tahun 2014 Pak Joko memiliki omset sebesar Rp 10 milyar. Berdasarkan Putusan MA Nomor 70P/HUM/2013, buah-buahan dan sayur-sayuran yang dulunya dibebaskan PPN, sekarang menjadi tidak terutang PPN karena bukan BKP. Jadi, sejak tanggal 22 Juli 2014 Pak Arifin tidak perlu menjadi PKP karena melakukan penyerahan yang tidak terutang PPN.
  2. PT. Kopi Robusta adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang perkebunan kopi. PT. Kopi Robusta menyerahkan biji kopi kering. PT.  Kopi Robusta memiliki omset sebesar Rp 100 milyar. Berdasarkan Putusan MA Nomor 70P/HUM/2013, biji kopi kering yang dulunya dibebaskan PPN, sekarang menjadi  terutang PPN karena menjadi BKP. Jadi, sejak tanggal 22 Juli 2014 PT. Kopi Robusta wajib membuat Faktur Pajak atas penyerahan biji kopi kering dengan kode Faktur Pajak “01” bukan “08”.

Penutup
Dasar hukum pengenaan PPN pada barang hasil pertanian adalah putusan MA 70P/2013 dan bukan SE – 24/PJ/2014. Putusan tersebut mengubah ketentuan PPN atas barang pertanian. Surat Edaran merupakan  untuk menyampaikan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia kepada petugas pajak di seluruh Kantor Wilayah DJP, dan SE tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum.

Referensi

  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
  2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia  Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007
  3. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 70P/HUM/2013
  4. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 24/PJ/2014 Tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 70P/HUM/2013 Mengenai Pajak Pertambahan Nilai Atas Barang Hasil Pertanian yang Dihasilkan Dari Kegiatan Usaha Di Bidang Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Sebagaimana Diatur Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007
  5. Daftar Barang Hasil Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan yang ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 dan Implikasi Perpajakannya Berdasarkan Putusan MA No. 70P/HUM/2013, http://www.ortax.org/files/downaturan/14PJ_SE24.pdf
Categories: Tax Learning

Artikel Terkait